Belitung : Negeri Seribu Batu

(Bagian kedua dari tiga tulisan)

//1//

..Pulau Burung, Pulau Lengkuas, Pulau Babi, Pantai Tanjung Tinggi…

Subhanallah..Allahku yang maha cantik…Darimana batu-batu granit sebesar ini muncul? Tidak ada gunung berapi (lho? Iya…saya pikir batuan ini dimuntahkan gunung seperti halnya di Merapi). Ataukah datang dari langit? Jatuh begitu saja berjuta-juta tahun yang lalu? Ataukah batuan ini hasil sedimentasi proses alami bumi yang sudah lanjut usia ini? Apapun itu, saya takjub…duhai…betapa cantiknya..! Hari itu kami berkeliling pulau-pulau di belitung barat (ini anggapan saya semula tapi setelah saya lihat peta ternyata kami hanya berputar di sebagian kecil belitung barat). Dari pantai Kela

Batu di Pulau Burung

yang kami menyeberang ke Pulau Burung. Awalnya saya pikir akan ada banyak burung disini, nyatanya tidak ada sama sekali. He he sok tau! Rupanya pulau ini dinamai pulau burung karena ada batuan granit yang menjulang dan mirip dengan paruh burung. Ooo..! Pantai pulau ini bersih,

berpasir putih dengan ombak yang tenang. Saking jernihnya air laut, kita bisa melihat dan observasi langsung bintang laut (si Patrick) yang seolah terkapar pasrah begitu saja di pasir.

Dari pulau Burung kami menyeberang ke pulau Lengkuas. Yang paling seru adalah perjalanan ke Pulau ini. Di tengah lautan, angin dan ombak bersekutu mengajak kami bersenang-senang sebentar. Maka jadilah perahu kami terayun, meliuk dan menari. Kami menjerit, antara ngeri (bagaimana kalau perahu ini terbalik?), merasakan sensasi seru dan lantunan doa yang tak kunjung habis. He he he…Alhamdulillah kami selamat.

mercusuar itu...

Landmark pulau ini adalah mercusuar yang dibuat Belanda pada tahun 1882 (bayangpun, sejak 1882 Belanda sudah tahu pulau ini, kami baru ngeh dengan Belitung sejak baca novel laskar pelangi. Dan setelah saya lihat wikipedia, ternyata Belitung ini awalnya dijajah Inggris, kemudian bersama-sama dengan Singapura, pulau ini diserahkan kepada Belanda. (Nah lo…Ujung-ujungnya Belanda juga kan?). Setelah makan siang saya bersama beberapa teman naik ke mercusuar. Hebat juga arsitek mercusuar ini, meski sudah 128 tahun, bangunan masih kokoh, tangga melelahkan yang kukuh dan

di depan mercusuar

mercusuar ini masih dipergunakan untuk membantu para pelayar. Ada 19 lantai yang harus kami lewati, masing-masing lantai ada 17 anak tangga. (hitung sendiri berapa anak tangganya)..wuihh capeek! Tapi segala rasa capek terbayar lunas sa

at sampai di atas. Subhanallah..Indah sekali. Meski saya agak ngeri karena tidak ada pengaman (kaca), tapi pemandangannya benar-benar cantik.

dari mercusuar

Puas menyusuri mercusuar dan menunggu hujan turun, perjalanan ini kami lanjutkan ke pulau Babi.  Di pulau Babi, kami akan mencoba Snorkeling. He he he…! Saya sendiri awalnya ragu..berani gak ya terjun ke laut? (Secara selama ini cuma berani nyebur di kolam renang 1 meter), tapi penasaran itu mengalahkan ketakutan..Dan akhirnya, setelah pasang kacamata dan selang nafas, saya nyebur juga..Byur!! Mula-mula canggung karena bagaimanapun laut berbeda dengan kolam renang yang tenang tanpa gelombang. Saya dengarkan instruksi dari bapak nelayan yang mengawal kami. Gigit. Masukkan wajah ke laut. Jangan sampai selang terisi air. Dan…Woww! MasyaAllah… Saya seperi masuk ke dunia lain : dunia bawah laut yang begitu cantik! Karang, ikan, rumput, bulu babi. Kayak nonton film Finding Nemo.

ketemu patrick

Tapi, entah karena saya masih beginner atau karena ada yang salah dengan selang nafasnya, alhasil beberapa kali saya tersedak dan sempat meminum air laut. Wekekekek…he he he! Asiinn buanget! (Ya iyalah asiin). Tapi seru!

Alhamdulillah… Pantai selanjutnya adalah pantai Tanjung Tinggi. Pantai ini adalah pantai tempat syuting laskar pelangi. Adegan ikal kecil dan kawan kawan lari-lari diantara batu besar itu lho! Dan masih sama dengan pantai dan pulau yang lain, pantai ini tenang dan berbatu granit sebesar gajah. Berada di antara batu besar itu membuat saya mengandaikan hidup di era megalithikum (Nah lo.. apa coba? He he )

Dan pada akhirnya hujan di sore hari itu membuat kami harus segera beranjak dari pantai. Capek. Basah. Dingin. Brrr….! Kami meluncur ke hotel.

//2//

//Semalam di Tanjung Pandan//

Inilah yang saya bilang Backpacker kelas elit (ini karena saya ngikut rombongan temen-temen dari Jakarta), kami menginap di hotel dengan fasilitas lumayan mewah untuk ukuran backpacker saya .

//3//

Belitung, 4 Juli 2010

Antara Tanjong Pandan-Gantong

Pagi yang gerimis lalu hujan yang datang pelan-pelan.

’Janganlah terganti… tetaplah seperti ini..’ (Ipank—sahabat kecil)

Hari ini kami melanjutkan perjalanan ke Belitung Barat. Jalanan yang kami lalui mulai berubah polanya. Yang tadinya pemukiman kini berubah jadi rumpun-rumpun hutan. Sesekali saya melihat rumah penduduk yang letaknya berjauhan, padang rumput yang seperti tak mengenal musim. Selebihnya : sepi! Beberapa kali saya melihat hamparan air yang cukup luas yang belakangan saya tahu kalau itu adalah rawa. Mas Dyka (Guide) bilang kalau itu rawa yang—dulunya—tempat bermukim buaya. (masih inget Lintang yang harus menunggu Buaya dalam perjalanannya menuju sekolah kan? Nah itu dia..!!).

Kali lain Mas Dyka (Guide) menunjukkan cekungan-cekungan lebih besar semacam danau yang katanya adalah bekas penambangan timah. Wew…? Setelah jadi cekungan seperti ini lalu diapakan? Oh Indonesiaku…Betapa malang nasib bumi yang saya pijaki ini, setelah timah dikeruk hingga menjadi danau sebesar itu, ia kini ditinggalkan begitu saja. Tidak ada tanda-tanda revitalisasi (atau karena saya belum melihatnya saja? Oya, dalam perjalanan pulang nanti, di pesawat, saya akhirnya bisa melihat kolam-kolam dan tanah bekas penambangan itu dengan lebih menyeluruh).

Konon kabarnya penambangan timah di pulau bangka-belitung dimulai tahun 1709 oleh orang-orang Malaka dan tahun 1722 VOC—seperti di daerah lain di Indonesia—mulai bekerjasama dengan raja setempat yang berujung pada monopoli perdagangan timah. Setelah sempat dikuasai Inggris dan Belanda, Belitung menjadi bagian dari Indonesia. Kini, setelah 200 tahun berlalu, PT Timah (persero) tbk—yang menaungi penambangan timah di Bangka, Belitung, Singkep—memproklamasikan diri sebagai perusahaan penghasil logam timah terbesar di dunia. Timah yang menyatu dengan bumi belitung sudah sampai kemana-mana, namun bumi belitung tetap sunyi seperti ini.

//Gantong//

SD itu...

Kami mampir di SD Muhammadiyah yang populer itu. Ternyata SD yang kami kunjungi ini hanya ‘replika’ dari bangunan yang asli (Attention pliss! Bangunan asli digusur demi pembangunan sebuah SD Negeri). Bagi pengunjung tidak tahu acara pindah-pindahan ini pasti akan tetap menyangka bahwa ini bangunan asli sebab memang sangat mirip, bahkan lengkap dengan tiang penopang dinding yang hampir rubuh. Sejurus kemudian memori saya bekerja.

Disaat yang sama ketika saya berdiri di replika SD Muhammadiyah ini, warga Muhammadiyah sedang berkumpul di Jogja, bermuktamar sekaligus memperingati 1 abad Muhammadiyah. Dalam hati saya berharap dan berdoa semoga secara esensi, SD ini bukan lagi replika. Semoga sekolah-sekolah yang (masih) mahal di sudut-sudut maupun ditengah kota belajar dari sekolah ini. Semoga saja SD Muhammadiyah ini bukan satu-satunya SD Muhammadiyah yang dikenang sebagai sekolah yang memihak rakyat miskin. Amiin…!

//Manggar//

Lengang! Sepi! Rumah-rumah dan toko-toko tutup. Mungkin karena ini hari minggu atau karena hujan yang seharian deras mengguyur kota maka saya seperti mengunjungi kota mati. Manggar Kota Bismillah slogan kota ini. Kedai kopi (yang juga tutup) terlihat di sepanjang jalan yang kami lewati. (Bagi yang sudah membaca Dwilogi Andrea terbaru, Padang Bulan dan Cinta dalam Gelas, melihat kedai kopi seperti deja vu). Menjelang siang, kami mampir ke warung mie ayam di pinggir jalan utama. Hmm..ngomong punya ngomong ternyata penjualnya orang jawa (dia ngomong pake bahasa jawa). Usut punya usut ternyata dia orang solo. Ngobrol lebih jauh lagi ternyata orang wonogiri. (Orang Wonogiri ternyata tersebar ke seluruh pelosok tanah air).

//Pulang//

Sayang sekali!! Perjalanan kali ini begitu singkat hingga tidak memberi kesempatan pada saya untuk belajar lebih banyak budaya dan kultur negeri laskar pelangi ini. Saya kangen dengan situasi shock culture yang kerap saya alami karena keleletan saya belajar. (Ah dasar!!). Saya ingin lebih banyak bercermin dari kesunyian kota ini.

(ditulis di Kediri, 11 Juli 2010)

5 respons untuk ‘Belitung : Negeri Seribu Batu

    1. carpediem=diam itu emas? hmm? masak sih? dari wikipedia aku baca kalo carpe diem itu ‘petiklah hari’.
      ^.^

      1. aku jg tadinya pas nyari di wikipedia petiklah hari…tp dinovel diartiinnya diam itu emas…hohoho…so yg bnr yg mn???

  1. carpe diem petiklah hari…jd gimana dong? coba tanyakan sama andrea hirata…apa dia cuma iseng aja…mentang2 ada “diem” nya?….hehehe ditambah carpe…(karepe) bahasa jawa, kalo diindonesiakan jd inginnya…jadi carpe diem…inginnya diam…hahahaha

    1. selamat datang di ruang kecil mbak Ana.
      Saya juga tidak tahu kenapa Andrea mengartikan carpe diem dengan diam adalah emas. mungkin begitu ya? tapi saya cek di wikipedia, carpe diem artinya petiklah hari.
      Kalimat lengkapnya adalah: “carpe diem, quam minimum credula postero” yang berarti: “petiklah hari dan percayalah sedikit mungkin akan hari esok.”
      http://id.wikipedia.org/wiki/Carpe_diem
      Thanks for coming 🙂 sayang tidak meninggalkan alamat blog, jadi tidak bisa balik berkunjung 🙂

Tinggalkan Balasan ke ariyuli Batalkan balasan